Minggu, 30 Maret 2014

Psikologi dan Gugatan Epistemologis Terhadap Perumpunan Ilmu Dalam Undang Undang Pendidikan Tinggi


Abstrak
Penulis memperlihatkan sekaligus menelaah perdebatan abadi mengenai psikologi, yang pada hakikatnya hendak menjawab pertanyaan,
1. Apakah Psikologi itu
2. Ilmu atau seni/kiat/humaniora?
3. Ilmu alam atau ilmu sosial?
Optimistis untuk memiliki paradigma yang terunifikasi, ataukah selamanya akan memiliki pendekatan-pendekatan yang terfragmentasi. 
Perdebatan tersebut berguna untuk memberikan masukan kepada Pemerintah Indonesia agar “kekerasan epistemologis” sebagai implikasi langsung penempatan psikologi dalam satu rumpun ilmu tertentu dapat lekas dikoreksi. 
Artikel ini dapat menjadi salah satu dasar ilmiah untuk mendukung gagasan bahwa perumpunan ilmu hendaknya diserahkan kepada masing-masing perguruan tinggi di Indonesia.
Kata-kata kunci: rumpun ilmu, psikologi, filsafat, epistemologi, Indonesia.

Pendahuluan
Sejak 1980-an sampai dengan 2000-an, perkembangan literatur psikologi berbahasa Indonesia dapat dikatakan sangat beruntung antara lain karena hadirnya seorang penulis dan penyunting kawakan bernama Agus Cremers. Ia merupakan seorang pastor ordo SVD kelahiran Belanda yang tekun menerjemahkan, menyunting, dan memberi komentar bermutu terhadap karya-karya tokoh-tokoh psikologi dunia, seperti Jung, Rogers, Piaget, Erikson, Fowler, Kohlberg, dan Maslow. Menurut riwayat hidupnya, ia mempelajari filsafat, teologi, antropologi budaya, dan psikologi. Dunia psikologi Indonesia juga menerima kontribusi yang bermakna mengenai Psikologi Analisis Transaksional dari Paul de Chauvigny de Blot, seorang pastor ordo SJ kelahiran Jawa Tengah, yang memiliki riwayat belajar ilmu pasti alam, filsafat ilmu dan kebudayaan, teologi, psikologi dan spiritualitas, serta ekonomi. Dua bukunya yang penting adalah “Mengapa Saya Merasa Tidak Enak? Menggapai Ketenteraman Hidup Berpangkal Kebudayaan Indonesia dengan Analisis Transaksional” (2002), serta “Mengenal Diri Sebagai Orang Indonesia: Menganalisis Orang Berbudaya Indonesia dengan Analisis Transaksional” (2010). Patut diingat pula sumbangsih berharga Kees Bertens, seorang filsuf yang menerjemahkan dan menyunting karya-karya Sigmund Freud tentang Psikoanalisis, serta memberikan rangkuman dan catatan yang signifikan sebagai pengantar kepada pandangan Freud. Cremers dan Bertens menulis disertasi Filsafat, sedangkan de Blot menulis disertasi tentang organisasi bisnis. Di pihak lain, literatur psikologi di Indonesia diperkaya oleh tulisan para ahli “di luar” disiplin psikologi yang menyumbang pemahaman mengenai sub-disiplin psikologi tertentu, seperti pada karya Jonce Marcella Laurens, “Arsitektur dan Perilaku Manusia”(2005), serta karya Jalaluddin Rakhmat, “Psikologi Agama: Sebuah Pengantar” (2004).
Sejumlah kenyataan yang disebutkan ini sulit dibayangkan apabila kita membandingkannya dengan ketentuan Pemerintah yang menyatakan bahwa kualifikasi pendidikan akademik Sarjana dan Pasca Sarjana dosen harus linear, atau paling tidak satu rumpun (Muhammad, 2011). Dalam Lampiran 3 Buku Sertifikasi Dosen Tahun 2011 (http://evaluasi.dikti.go.id/dok/rumpunilmu), Ilmu Psikologi merupakan Sub Rumpun dari Rumpun Ilmu Kesehatan. Sub Rumpun ini terdiri atas lima bidang ilmu, yakni Psikologi Umum (kode 391), Psikologi Anak (kode 392), Psikologi Masyarakat (kode  393), Psikologi Kerja/Industri (kode 394), dan Bidang Psikologi Lain yang Belum Tercantum (kode 395). Dalam hal ini, Psikologi serumpun dengan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Ilmu Gizi, Ilmu Keperawatan, Kebidanan, Rehabilitasi Medik, dan sebagainya; namun tidak serumpun dengan Sosiologi, Antropologi, Pendidikan Luar Biasa, Pengembangan Kurikulum, Kebijakan Publik, dan sebagainya. Rumpun Ilmu Psikologi terpisah dari Rumpun Ilmu Agama dan Filsafat (di mana keahlian Cremers dan Bertens dapat “dikategorikan”); terpisah pula dari Rumpun Ilmu Sosial Humaniora (Humaniora, Politik, Sejarah, Hukum, Sosiologi, Antropologi, dll), dan Rumpun Ilmu Ekonomi (di mana keahlian de Blot dapat “dikategorikan”). Apabila mengikuti ketentuan ini, Cremers, Bertens, dan de Blot sangat tidak dianjurkan untuk menulis buku di bidang Psikologi, karena pendidikan sarjana dan pasca sarjananya tidak serumpun.
Padahal, sewaktu saya bertugas sebagai Dosen Tidak Tetap di Bagian Psikologi Sosial, Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta, saya senantiasa diingatkan oleh Kepala Bagian, Dr. Nani Nurrachman, mengenai arti pentingnya mahasiswa S1 Psikologi Peminatan Psikologi Sosial untuk mempelajari konsep-konsep dari ilmu lain. Sebagai contoh: penting mempelajari konsep-konsep dari sosiolog Georg Simmel dan George Herbert Mead sebagai jembatan antara sosiologi dan psikologi sosial, dalam hal mana keduanya dapat memberikan pengertian kepada pelajar psikologi akan betapa pentingnya pemahaman mengenai konteks sosial dalam menjelaskan dinamika psikologis manusia.
Yang lebih menarik lagi, Pemerintah nampaknya “gamang” dalam menempatkan Psikologi dan Filsafat dalam rumpun ilmu tertentu. 
Apabila kita meninjau peraturan yang lebih baru dan lebih tinggi, yakni Undang Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Psikologi digolongkan dalam Rumpun Ilmu Sosial (sebelumnya: Rumpun Ilmu Kesehatan), sedangkan Filsafat digolongkan dalam Rumpun Ilmu Humaniora (sebelumnya: Rumpun Ilmu Agama dan Filsafat).

Psikologi: Ilmu (Science) atau Seni/Kiat (Art)/Humaniora (Humanities)?
Dalam UU Pendidikan Tinggi 2012, Pasal 10, terdapat enam rumpun ilmu, yakni (a) agama, (b) humaniora, (c) sosial, (d) alam, (e) formal, dan (f) terapan. Psikologi dimasukkan dalam rumpun ilmu sosial, yang didefinisikan sebagai “Rumpun Ilmu Pengetahuan yang mengkaji dan mendalami hubungan antar manusia dan berbagai fenomena masyarakat”.
Jadi, tugas mendasar peneliti atau ilmuwan psikologi adalah terus-menerus mempertimbangkan konteks sosial-kemanusiaan ketika menyusun science, dan mewaspadai konteks ini agar tidak menimbulkan bias yang besar. Dasarnya adalah bahwa hal-hal yang disangka fakta dalam logika ilmu alam sesungguhnya bersifat theory laden. “Fakta ilmiah” senantiasa berubah, bukan karena dunia berubah, namun karena teori kita berubah. Sebagaimana diungkapkan oleh Hesse (1980, dalam Bem & de Jong, 2006) faktor manusia dan sosial itu intrinsik dalam semua sains. Posisi ini tidak perlu mentah-mentah menolak seluruh asumsi-asumsi positivisme, melainkan mengapresiasi peran interpretasi dan siklus hermeneutik antara data dan teori.
Perlu dipertimbangkan juga pernyataan Gross (2009, h. 205) bahwa sementara Psikologi selalu berupaya memodelkan dirinya pada “fisika klasik”, fisika sendiri tidak lagi mengadopsi pandangan “klasik” tentang sains. Fisikawan saat ini meyakini bahwa dunia tidak dapat dipelajari secara objektif, independen dari pengamat yang berupaya mengukurnya. Metode-metode ilmu alam sebaik-baiknya hanya memberikan pengetahuan parsial tentang perilaku manusia. Hetherington, mantan Presiden British Psychological Society bahkan menyatakan bahwa Psikologi sebagian merupakan bagian dari natural science dan sebagian merupakan bagian dari interpretive science. Jadi beralasan bahwa kita perlu mengembangkan metode-metode yang secara mumpuni mempelajari manusia sebagai organisme, sebagai anggota organisasi-organisasi sosial, dan sebagai orang yang berdialog. Dalam konteks ini, analisis wacana, dan sebagainya yang bertumpu kepada penafsiran itu dapat memainkan peran. Metode-metode yang bertumpu kepada penafsiran atau hermeneutik bukanlah metode yang melepaskan diri (detached) dari pengamatan objektif, namun lebih merupakan dialog di mana sang penafsir membawa “cakrawala/horizon”-nya, latar belakang kulturalnya, opininya, norma subjektifnya, prasangka-prasangkanya dan mengkonfrontasikannya dengan teks. Interpretasi atau penafsiran pada kenyataannya hanya mungkin bila mulai dari sini.  Dikotomisasi kaku antara penjelasan nomologis (hukum-hukum sebab akibat) dan pandangan hermeneutik tidak memadai. Pemahaman dan eksplanasi merupakan suatu kontinum. Sebagai contoh, kita harus memahami terlebih dahulu dari dalam (from the inside), apa maknanya frustrasi, dan apa yang diperhitungkan sebagai perilaku agresif dalam sebuah kebudayaan, sebelum kita dapat mulai melakukan pengukuran dan mencari hukum-hukum umum. Jadi eksplanasi psikologi terletak pada sebuah kontinum dari penafsiran hermeneutik sampai dengan nomologis.

Psikologi: Ilmu Alam atau Ilmu Sosial?
Menurut Praetorius (2003), konstruksionisme gagal melihat bahwa kita mungkin memiliki pengetahuan objektif; bahwa kita dapat mengemukakan deskripsi yang benar tanpa pada saat yang sama meragukan atau mempertanyakan (a) eksistensi objektif kita sendiri, serta (b) kebenaran kognisi dan deskripsi kita mengenai diri kita sendiri. Salah satu turunan dari konstruksionisme adalah Psikologi Hermeneutik (Martin & Sugarman, 2001), juga Psikologi Diskursif yang menurut Mather (2000) menjadi fondasi Psikologi Kritis.
Di pihak lain, asumsi dasar naturalisme adalah bahwa segala sesuatu yang eksis memiliki penjelasan fisis. Fenomena mental termasuk dalam gejala yang memiliki kausalitas (sebab dan akibat) yang dapat dijelaskan secara eksplanatori oleh fisika—metodologi pemerolehan pengetahuannya adalah eksperimental. Sebagai contoh, rasa sakit atau keyakinan tentang realitas memiliki sebab-sebab fisis (misalnya, kondisi fisik dan kerja otak) serta efek-efek fisis (misalnya tindakan yang menghasilkan akibat fisik). Dengan demikian, fenomena mental merupakan fenomena fisik dan dapat dijelaskan dengan terminologi fisika. Keyakinan, pikiran, serta fenomena mental lainnya tidak memiliki eksistensi objektif, kecuali tersusun atas dan dapat direduksi pada materi fisik. Naturalisme mengabaikan dependensi atau kebergantungan deskripsi saintifik tentang fenomena fisik pada deskripsi non-saintifik (Praetorius, 2003). Padahal, titik berangkat setiap penelitian ilmiah harus merupakan deskripsi sehari-hari yang biasa (ordinary) dalam dunia yang kita akrabi. Pun pula, setiap deskripsi dan penjelasan ilmiah tentang fenomena partikular bergantung pada dan secara logis berelasi dengan deskripsi lain (baik non-saintifik maupun saintifik).

Psikologi: Apakah Memiliki Satu Paradigma?
Glassman dan Hadad (2009) mengemukakan adanya lima pendekatan (approaches) dan tiga perspektif dalam psikologi, yakni : 
1. Pendekatan Biologis
2. Pendekatan Behavioris
3. Pendekatan Kognitif
4. Pendekatan Psikodinamik/Psikoanalitik
5. Pendekatan Humanistik
6. Perspektif Perkembangan
7. Perspektif Perilaku Sosial
8. Perspektif Perilaku Abnormal. 
Tiap-tiap pendekatan memiliki asumsi ontologis dan epistemologisnya sendiri, juga memiliki jurnal-jurnal ilmiah yang kebanyakan di antaranya tidak saling “bertegur sapa”, kecuali pendekatan kognitif dan neurosains.

Sumber :
  • Penulis adalah bapak Juneman, Dosen Tetap pada Jurusan Psikologi, Fakultas Humaniora, Universitas Bina Nusantara.
  • Artikel ini dimuat sebagai salah satu chapter dari buku Menggugat Fragmentasi dan Rigiditas Pohon Ilmu, halaman 43-68, ISBN 978-979-8154-47-8, yang diterbitkan oleh Satya Wacana University Press, tahun 2013.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar