Minggu, 30 Maret 2014

Filsafat dan Teologi (hal 21-30)


Seperti Agustirus, Anselmus tidak membedakan secara jelas bidang teologi dan filsafat. Di dalam monologium, anselmus memperkembangkan bukti adanya Allah dari tingkat tingkat kesempurnaan yang terdapat di dalam ciptaan di dalam bab 1, ia menggunakan argument tentang kebaikan, dan di dalam bab 2, argument mengenai keagungan. Sifat sifat itu terdapat di dalam macam macam tingkat dari objek pengalaman, sehingga argument berkembang dari pengamatan empiris, misalnya tingkat tingkat kebaikan makhluk. Makan proses ini merupakan pembuktian aposteriori. Tetapi penilaian mengenai taraf taraf kesempurnaa mengendaikan suatu norma kesempurnan. Kenyataan bahwa benda benda ambil bagian secara objektif di dalam kebaikan menurut tingkat tingkat yang berlainan menunjukan bahwa norma sendiri bersifat objektif, yang berarti bahwa ada suatu kebaikan absolut di mana semuahal yang baik berpartisipasi. Pembuktian yang berbau platonic ini disebut apostariori, yakni bahwa pembuktian ini tidak bergerak dari ide mengenai kebaikan absolut menuju eksistensi kebaikan absolut, melainkan dari tingkat tingkat kebaikan yang diamati secara inderawi ke eksistensi kebaikan absolut,, dan dsri tingkat tingkat kebijaksanaan empiris ke eksistensi kebijaksaan absolut. Kebaikan dan kebijaksanaan absolut diidentikan dengan Allah. Prinsipnya: bila ada objek memiliki kebaikan terbatas, mereka pasti memiliki kebaikan mereka dari kebaikan absolut sendiri, yang baik dari dirinya sendiri dan bukan berasal dari yang lalu.

Di dalam bab 3 dari Monologium, Anselmus menggunakan cara pembuktian yang sama. Apapun yang ada, berada ata melalui suatu yang lain atau melalu ketiadaan. Kemungkinan kedua hal adalah absurd. Maka semua yang berada atay saling mengadakan atau melalui diri mereka sendiri atau melalui satu penyebab keberadaan. Tetapi kemungkinan pertama tidak masuk akal. Maka pilihannya atau ada macam-macam sebab yang tidak disebabkan atau satu sebab tak tersebabkan. Sampai sini cukup sederhana; pembuktian melalui penyebaban. Tetapi untuk melanjutkannya, anselmus memperkenalkan suatu unsur platonic, sewaktu ia berpendapat bahwa bila ada macam macam pengada yang ada dari dirinya sendiri, maka mereka harus ambil bagian di dalam pengada utama, yang dari dirinya sendiri mengatasi dan lebih unggul dari yang lain.

Di dalam proslogium, anselmus memperkembangkan apa yang disebut ‘bukti ontologis’, yang bergerak dari ide mengenai Allah ke pengalaman mengenai Allah yang riil dan eksistensial: Allah adalah sesuatu yang terbesar, sehingga sesuatu yang lebih besar daripadaNya tidak terbayangkan. Padahal ‘sesuatu yang terbesar, sehingga sesuatu yang lebih besar daripadaNya tidak terbayangkan’ harus ada secara eksistensial di luar budi, tidak hanya sebagai ide yang berada di dalam budi. Maka Allah ada, tidak hanya sebegai ide di dalam pikiran, tetapi secara eksistensial di luar pikiran.

Pada masa hidup anselmus sendiri bukti dari proslogium sangatlah kecil pengaruhnya. Tetapi di abad XIII bukti ini digunakan oleh St. Boneventura, dengan lebih bernada psikologis daripada logis, sementara st. Thomas menolaknya. Duns scotus menggunakannya sebagai pertolongan. Di jaman modern bukti ontologis ini mempunyai karir yang istimewa. Descertas mengambil dan menyesuaikan bukti ini, Leibniz mempergunakannya secara hati hati dan bijaksana, sementara kant menyerangnya.

Pengaruh agustinus terhadap filsafat anselmus dapat dirasakan antara lain di dalam teorinya mengenai kebenaran. Bila ia berbicara mengenai kebenaran di dalam penilaian, ia mengikuti pandangan aristoteles; penilaian atau prorporsi menyatakan apa yang sesungguhnya berada atau menyangkal apa yang tidak ada; tetapi, setelah membicarakan kebenaran kehendak, anselmus meneruskan berbicara mengenai kebenaran pengada atau essensi dan menyatakan bahwa kebenaran barang barang terletak di dalam “menjadi apa menurut seharusnya”, yakni di dalam perwujudan atau kesesuaian dengan ide ide mereka di dalam Allah, sang kebenaranAgung dan norma segala kebenaran, anelmus mengikuti jejak agustinus. Demikian pula sewaktu anselmus menyimpulkan keabadian dari sebab kebenaran agung dan norma segala kebenaran, anselmus mengikuti jejak agustinus. Allah adalah kebenaran abadi dan mandiri, yang menjadi sebab dari kebenaran ontologis semua ciptaan. Kebenaran abadi adalah sebab semata mata dan kebenaran penilaian adalah akibat semata mata, sedangkan kebenaran ontologis ciptaan adalah sekaligus sebab dan akibat.

3. Filsafat Islam
Filsafat arab merupakan salah satu saluran utama bagi diperkanalkannya filsafat aristoteles yang komplit kepada dunia barat. Tetapi filsuf filsuf agung islam abad pertengahan, seperti Avicenna (Ibn Sina) dan averoes (Ibn Rushd), tidak hanya meneruskan atau mengomentari, tetapi mereka sendiri mengubah dan memperkembangkan filsafat aristoteles, kurang lebih menurut semangat neo-platonis, dan beberapa di amtara mereka menafsirkan aristoteles berkaitan dengan pokok pokok penting yang secara eksegatis benar atau tidak, bertentangan dengan iman dan teologi Kristen. Aristoteles yang diperkenalkan oleh averroes tentulah tidak sesuai dengan kebijasnaan atau filsafat Kristen. Maka menimbulkan pertentangan denan tradisi Kristen yang menganggap filsuf filsuf Kristen lainnya. Makan dapat dimengerti bahwa perhatian terhadap filsuf filsuf Islam oleh mereka, khususnya St. Thomas yang memandang filsafat tersebut tidak hanya sebagai suatu alat yang berharga untuk mengekspresikan dialektik teologi Kristen di dalam system asitotelianm tetapi juga memandangnya sebagai filsafat yang benar, haruslah melengkapi diri dengan bukti bahwa aristotelianisme tidak harus melibatkan Interpretasi yang diberikan olehorang-orang islam . mereka harus melepaskan diri dari Averroes dan harus membedakan Aristotelianisme mereka dari Aristotelianisme Averroes

A.           Alfarabi ( meninggal ±950)
Ia termasukmasab Baghdad. Alfarabi memperkenalkan logika Aristoteles ke dunia Islam, sedangkan ia membedakan departemen filsafat dari teologi, sehingga filsafat dipisahkan dari teologi. Filsafat terdiri dari fisika – yang didalamnyua termasuk antara lain psikologi dan epistimologi – metafisika serta atika atau filsafat praktis. Skema teologinya meliputi bagian-bagian mengenai :
1.      Kemahakuasaan dan keadilan Allah ;
2.      Kesatuan dan sebutan-sebutan lain dari Allah ;
3.      Ajaran mengenai hukuman di hidup akhirat ;
4 & 5. Mengenai hak-hak individual dan hubungan social dari orang islam

Alifarabi menggunakan bukti-bukti Aristoteles di dalam membuktikan adanya Allah. Dengan pengandaian bahwa benda-benda duniawi  digerakkan secara pasif. Suatu ide yang sesuai benar dengan teologi Islam, maka mereka pasti menerima gerakandari suatu Penggerak Pertama, yaitu Allah. Lagi, benda0benda duniawi bersifat kontingen, yang berarti tidak ada secara niscaya ; esensi mereka tidak melibatkan eksistensi mereka, sebagaimana nyata dari kenyataan bahwa mereka mulai berada dan lenyap dari peredaran. Maka mereka secara niscaya menerima eksistensi mereka, dan suatu yang utama dengan sendirinya merupakan suatu Yang Ada yang berada secara essensial, sebagai keharusan, dan merupakan sebab dari keberadaan dari semua pengada kontingen.

Tetapi sistem Alfarabi secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh filsafat neo-Platonis. Tema emanasi dipergunakan untuk memperlihatkan bagaimana dari keallahan, atau Yang Satu, muncul Inteligens dan Jiwa Dunia, dari ide muncul dunia, dari angkasa tinggi atau luar agkasa dalam (rendah).  Menurut Alfarabi benda0benda berjasad terbentuk dari materiadan forma. Inteligens manusia diterangi oleh inteligens kosmis, yang merupakan intelek manusia yang aktif. Lebih lagi, penerangan intelek manusia merupakan penjelasan bahwakonsep-konsep kita sesuai dengan bendanya,  karena ide-ide dalam Allah sekaligus merupakan exemplar dari sumber konsep di dalam budi manusia dan dari forma di dalam benda-benda.
Ajaran illuminasi ini dihubungkan, tidak hanya dengan neo-Platonisme, tetapi juga dengan mistik Timur. Alfarabi sediri erat hubungannya dengan  Sekolah mistik sekte Sufi, dan filsafatnya mempunyai orientasi keagamaan. Tugas tertinggi manusia adalah  mengenal Allah dan, sebagaimana proses keseluruhan dari semesta mengalir dari Allah, demikianlah manusia yang muncul dari Allah di dalam prosesemanasi dan yang diterangi oleh Allah. Maka manusia harus berusaha kembali dan menyerupai Allah.
B.               Avicenna ( Ibn Sina ) 980 – 1037
Filsuf terbesar dari grup Timur adalah Avicenna. Dia adalah pencipta sebenarnya dari sistem Skolastik di dunia Islam. Karya agungnya adalah As-Sifa, dikenal sebagai Sufficientiae, di abad Pertengahan, yang terdiri dari logika, fisika, matematika, psikologi dan metafisika. Meskipun dia meminjam dari Aristoteles, dan neo-Platonisme, dia memperlihatkan bentuknya sendiri yang membuat jelas bahwa dia telah memikirkan masak-masak sitemnya sendiri.
Menurut Avicenna konsep keniscayaan merupakan konsep utama, sebab menurut dia semua yang ada harus ada. Namun ada dua jenis keniscayaan : objek tertentu di dunia ini tidak niscaya dari dirinya sendiri, essensinya tidak melibatkan keniscayaan akan keberadaannya, sebagaimana nyata bahwa benda itu mempunyai awal dan akhir dari adanya. Namun benda itu pasti ada karena keberadaannya ditentukan oleh tindakan niscaya oleh sebab dari luar. Benda itu disebabkan dan bersifat ‘relatif’, tetapi tindakan dari penyebabnya ditentukan secara niscaya.
Maka rantai penyebab tidak mungkin tidak terbatas, sebab seandainya tak terbatas tidak ada alasan untuk keberadaan dari apa pun, tetapi pastilah ada penyebab pertama yang tidak tersebabkan. Pengada tidak bersebab ini, yaitu Pengada Mutlak, tidak mungkin menerima essensinya dari yang lain, dan tidak mungkin keberadaannya merupakan bagian dari essensinya. Alasannya ialah bahwa susunan dari bagian-bagian akan melibatkan sebuah sebab penyatu yang lain essensi dan eksistensi pastilah identik di dalam Pengada mutlak.
Erat dengan perbedaan antara yang mungkin dan yang mutlak adalah perbedaaan antara potensialitas dan actus. Potensialitas, sebagaimana terdapat di dalam Aristoteles, adalah prinsip dari perubahan kepada yang lain sebagai yang lain, dan prinsip ini dapat ada di dalam pelaku (potensi aktif) atau di dalam penderita (potensi pasif). Tambahan lagi ada tingkat potensu dan aktus, mulai dari yang terendah, yaitu potensi murni (materia prima) dan yang tertinggi, yaitu aktus murni (pengada mutlak). Dari sini Avicenna menunjukkan bahwa Allah adalah Kebenaran, Kebaikan, Cinta dan Hidup.
Karena Allah adalah Kebaikan Mutlak, ia secara niscaya cenderung membagikan kebaikannya, menyinarkannya, dan ini berarti bahwa ia secara niscaya mencipta. Karena Allah itu Pengada Mutlak, semua sebutan-Nya tentulah mutlak ; maka Ia adalah Pencipta. Oleh karenanya, ciptaan juga harus ada dari semula, karena kalau Allah secara niscaya harus menjadi Penciptadan Allah itu abadi, ciptaan haruslah abadi.
Tambahan lagi, kalau Alah menciptakan secara niscaya, berdasarkan kodrat-Nya, akibatnya tidak ada pilihan bebeas di dalam penciptaan. Dengan kata lain, Allah tidak dapat menciptakan lain atau menciptakan benda-benda lain dari pada yang sungguh-sungguh Ia ciptakan. Tetapi Allah hanya dapat menghasilkan langsung pengada seperti diri-Nya sendiri; tidak mungkinlahbahwa Ia menciptakan benda-benda materiil secara langsung. Secara logis pengada pertama yang muncul dari Allah adalah Inteligens pertama. Inteligens ini diciptakan dalam arti bahwa ia muncul dari Allah: ia menerima keberadaanya, dan dengan demikian mulailah dualitas. Antara yang satu dengan dirinya.
Sementara di dalam Yang Satu tidak ada dualitas, di dalam Inteligens pertama ada dualitas antara essensi dan eksistensi, sejauh eksistensi itu diterima, dan juga ada dualitas pengetahuan, sejauh Inteligens pertama tahu bahwa Yang Satu atau Allah itu mutlak, sedangkan dirinya ‘mungkin’. Avicenna menyimpulkan adanya 10 Inteligensantara kesatuan Allah dan bermacamnya ciptaan. Inteligens kesepulah adalah “pemberi forma/bentuk”, yang diterima dari materia prima, potensialitas murni, sehingga pelipatgandaan di dalam satu species mungkin. Inteligens yang terpisah dapat berbeda satu sama lain hanya berdasarkan speciesnya, berkat kedekatan atau kejauhan dari Yang Satu dan semakin kurang utuhnya di dalam proses essensi.
Ide Avicenna mengenai penciptaan secara niscaya dan penyangkaannya bahwa Yang Satu mempunyai pengetahuan langsung akan bermacam-macam objek konkret bertentangan dengan teologi Qur’an. Tetapi ia berusaha sedapat mungkin mendamaikan sistemnya yang Aristotelism dan neo-Platonis dengan ajaran ortodox Islam. Misalnya, ia tidak menyangkal kehidupan kekal jiwa manusia, sekalipun ajarannya tentang keterpisahan intelek aktif. Dan ia menafsirkan secara intelektualitis: imbalan berupa pengetahuan akan objek-objek yang melulu terselamai, hukuman adalah peniadaan pengetahuan.
Ketika bagian-bagian tulisan Avicenna diterjemahkan ke dalam bahasa Latin di abad keduabelas, dunia Kristen menemukan dirinya dihadapkan untuk pertama kalinya dengan suatu sistem  yang tersusun rapih, yang tentu saja menarik perhatian.
C.          Avveroes ( Ibn  Rushd ) 1126 -1198
Dia menyusun komentar mengenai Aristoteles. Komentar-komentarnya dapat dikelompokkan :
1.      Komentar tengah: Averroes memberikan isi dari ajaran Aristoteles, sambil menambahkan penjelasan dan memperkembangkannya sedemikian rupa, sehingga tidak selalu mudah untuk membedakan mana yang berasal dari Aristoteles dan mana dirinya.
2.      Komentar yang lebih besar: memberikan teks asli Aristotelesdan memberinya komentar.
3.      Komentar kecil; memberikan kesimpulan dari penalaran Aristoteles dan menghilangkan pembuktian-pembuktiannya dan sumber-sumber historis, dengan tujuan mahasiswanya  tidak dapat menelusuri sumber-sumbernya atau komentar-komentar yang lebih besar.
    Jangkauan metafisik meliputi bahan dari material murni sebagai batas terendah sampai Aktus murni, yaitu Allah sebagai batas tertinggi, dab du abtara keduanya terdapat objek-objek yang terbentuk dari potensi dan aktus. Materi prima, yang sejajar dengan ketiadaan, sebagai potensi murni dan tanoa ketentuan, bukanlah sifat aktus kreatif: maka harus seabdi dengan Allah. Allah menarik ata memuncilkan forma dari benda benda materiil dari potensi material murni, dan menciptakan 10 inteligens, yang secara ekstrinsik dihubungkan dengan angkasa-angkasa, sehingga teori emanasi Avicenna dihindari dan pantheismo murni dikesampingkan.
    Tetapi ia tidak menerima kehidupan kekal individual. Averros berpendapat bahwa intellectus material (pasif) adalah substansi yang sama dengan intelektual agens (aktif), dan keduanya tidak musnah dalam kematian, tetapi substansi ini merupakan suatu inteligens tersendiri dan terpisah. Intelek pasif individual di dalam masing masing manusia, berkat kegiatan intelek aktif, ‘menjadi intelek yang dicapai’, yang dihisiap oleh intelek aktif sedemikian rupa, sehingga meski tidak terkna kematian badan, kehidupan setelah kematiannya bukanlah eksistensi individual, melainkan sebagai unsure di dalam intelligence umat manusia yang sifatnya umum.
    Lebih menarik lagi adalah ajaran Averroes mengenai hubungan filsafat dan teologi. Ia mencoba mendamaikan keduanya dengan aa yang disebut teori kebenaran ganda. Suatu keberadaan yang sama dapat dimengerti dengan jelas di dalam filsafat dan dinyatakan secara kiasan di dalam teologi. Perumusan ilmiah dari kebenaran tercapai hanya di dalam filsafat, sedangkan kebenaran yang sama dinyatakan di dalam teologi denganc cara yang berbeda. Ajaran dengan kiasan dari Qur’an menyatakam kebenaran dengan cara yang dapat dimengerti oleh orang biasa, orang yang tak terpelajar, sedangkan filsuf menelanjangi kulit allegoris dan mencapai kebenaran aslinya. Yang dilakukan oleh Averroes adalah meletakan teologi di bawah filsafat dan filsafat menilai teologi, sehingga filsuflah yang memutuskan ajaran teologis mana yang perlu ditafsirkan secara allegoris dan dengan cara bagaimana.

4. Filsafat Yahudi

A. Avicebron (Salomon Ibn Gabirol) 1021 – 1069/70
    Karya utamanya adalah Fons Vitas, yang aslinya berbahasa Arab (hilang). Karyanya ini terdiri dari lima buku dan mempunyai pengaruh besar terhadap Skolastik Kristen. Pengaruh neo – Platonism nyata di dalam skemanya yang bersifat emansionis. Puncak dari hirarki pengada dan sumber dari segala pengada terbatas adalah Allah yang satu dan tidak dapat difahami di dalam intuisi ekstase. Avucebron menambahkan ajaran mengenai kehendak ilahi, yang olehnya semua oengada lebih rendah diciptakan, atau dari mana mereka muncul.  Kehendak ilahi, seperti halnya Allah sendiri, mengatasi susunan material dan forma, dan dapat difahami hanya di dalam pengalaman mistik. Tetapi hubungan Allah dan kehendak ilahi tidak mudah ditentukan. Dari Allah, melalui kehendak ilahi (logos), entah Allah dari satu aspek atau sebagai suatu hypostesis disting, munculah roh kosmis atau Jiwa Dunia, yang lebih rendah dari Allah dan terdiri daru material dan forma, material universals dan forma universalis. Dari Jiwa Dunia muncullah roh0roh murni dan benda benda wedag.
     
    Yang lebih menarik adalah ajarannya mengenai persatuan hylomorphis universal di dalam semua pengada di bawah Allah. Ajaran ini secara tidak langsung ditarik dari Plotirus dan memperngaruhi satu tradisi Skolastik Kristen. Sebagaimana dari JIwa Dunia muncil forma forma individual, demikian juga dari Jiwa Dunia muncil material spiritual, yang hadir di dalam Inteligens dan di dalam jiwa rasonal, dan material badani. Materia yang tidak dari dirinya sendiri melibatkan kejasadan, merupakan prisnsip dari pembatasan dan keterbatasan di dalam semua makhluk: maka susunan hylomorhik lah yang membedakan ciptaan dari Allah, karena di dalam Allah tidak ada senyawa. Ajaran tentang senyawa hylomorphik universal di dalam makhluk ini ditekanan oleh St. Bonaventura juga.
    
    Tambahan lagi, terdapat pluralitas dai tingkat tingkat kesempurnaan, misalnya manusia, mikrokosmos, mempunyai kesempurnaan raga, kehidupan vegetative, kehidupan sensitive dan kehidupan intelektual. Setiap pengada ragawi mempunyai forma ragawi, tetapi masih harus ditentukan lebih lanjut tempat khusunya di dalam horarki pengada. Penempatan ini terjadi dengan penerimaan forma dari forma forma yang menentukannya, misalnya benda hidup, binatang, anjing. Ajaran Avicebron benar benar merupakan asal dari teori Sekolah Agustinian mengenai pluralitas forma, tetapu harus diingat bahwa  ajaran ini cocok dengan skema filsafat Agustinian, sebab Agustinus sendri telah menagajrakan bahwa fungsi forma forma lebih rendah ialah untuk mengantar kepada forma forma lebih tinggi sebagaimana tercerminkan di dalam pengetahuan manusia, yaitu bahwa kontemplasi mengenai taraf taraf lebih renda harus mengantar jiwa jiwa ke taraf taraf yang lebih tinggi.

B. Moses Maimonides 1135 – 1204
    Di dalam Guide of the Doubting, Maimonides mencoba memberi dasar rasional teologi di dalam filsafatnya, yang adalah filsafat Aristoteles. Kita harus pegang teguh apa yang diberikan kepada kita di dalam persepsi inderawi dan apa yang dinalarkan secara ketat oleh intelek: Jika pernyataan dalam perjanjian lama jelas jelas bertentangan dengan apa yang dinalarkan aksi, maka pernyataan itu harus ditafsirkan secara allegoris. Namun tidak berarti bahwa Maimonides membuang ajaran teologi bilamana tidak ada kesesuaian dengan ajaran Aristoteles. Misalnya, teologi mengaharkan penciptaam dunia di dalam waktu dari ketiadaan, yang berarti bahwa Allah haruslah menciptakn material dan forma, dan bahwa dunia tidak mungkin abadi. Bila keadaan dunia dapat ditunjukan oleh akal sedemikian rupa sehingga apa yang bertentangan jelas tidak mungkin, maka kita harus menginterpretasikan Kitab Suci sesuai dengannya. Tapi kenyataannya ajaran Kitab Suci begtu jelas dan dasar dasar filosofis untuk membuuktikan kabadian dunia tidak konklusif; maka kita harus menolak ajaran Aristoteles dalam hal ini.
    Mengandalkan sebagian pada teologi natural Alfarabu dan Avicenna, Maimonedes membuktikan adanya Allah dnegan macam macam jalan, beragumentasi dari ciptaan Allah sebgai Penggerak pertama, sebagai Pengada nutlak dan sebagai Sebab pertama. Argumen ini dia dasarkan pada pernyataan Aristoteles di dalam Physia dan Metaphysica. Tetapi jika Maimonedes mengantsipasi sebagian besar dari macam-macam bukti St. Thomas, ia lebih menekankanpada sebutan sebutan positif yang tidak dapat diterapkan kepada Allah.
    Tidak seperti Avicebron, Maimonedes member tempat kepada prvidensia khusu kepada Allah berkaitan dengan makhkuk khusus, meskipun ini hanya berlaku bagi manusia, sejauh menyangkut dunia materil. Intelligens kesepuuluh adalah intelek aktif, sedangjan intelek intelek pasif dari orang orang individual dan benar akan hidup kekal. Jadi kehidupan kekal hanya berlaju bagi orang benar. Maimonedes mepertahankan kebebasan yang memungkinkan orang bisa menjadi benar. Ia menilaj pengaruh benda benda langit dan angkasa yang seirng dainggap menentukan tindakan manusia.


III.JAMAN KEEMASAN ABAD PERTENGAHAN: ABAD XIII
    
    Semua teolog dan filsuf abad  XIII mempunyai huubungan erat dengan universitas Pairs. Alexander dari Hales, St. Bonaventura, St. Albertus Agung, St. Thomas Aquinas. Matthew dari Aquasparta, Roger Marston, Richard dari Middleton, Roger Bacon, Giles dari Roma, Siger dari Brabant, Henry dari Gent, Raymon Lull, Duns Scotus, atau belajar mengajar atau dua duanya di Paris.
    Tetapi ousat pusat pendidikan lain juga berkembang dan menjadi penting. Misalnya, Unibersitas Oxford dihubungkan dengan nama nama seperti Robert Grossteste, Roger bacon dan Duns Scotus. Sementara Paris merupakan kubu pertahanan tradisi Aristotelianisme, Oxfor ditandai denganc ampuran antara Agustinaian dan Empiricsm. Namun, meskipun kedudukan Oxford, bologna dan Papal Court cukup penting, Universitas Paris merupakan pusat terpenting dari pendidikan tinggi di dunia Kristen pada abad XIII. Para ilmuwan, yang dating ke Paris untuk studi dan kembali ke Oxford atau Bologna untuk mengajar, membawa kembali semangat dan cita cita Universitas Paris. Bahkan ilmuwan yang tidak pernah dating ke Paris, menerima kewibawaan universitas ini.

Sifat international dari universitas paris, dengan kedudukan pentingnya di dalam ajaran dan pembelan terhadap kristianitas, membuat tahta suci sangat berminat untuk memperhatikan pelestarian ortodotaksi religious dikampus ini. Maka pertikaian mengenai averroisme harus disoroti daro posisi international universitas ini: universitas paris mewakili kebudayaan intelektual dari abad pertengahan, sejauh berhubungan dengan filsafat dan teologi. Penyevaran suatu sistem yang tidak dapat didamaikan dengan kristiaritas tidak bisa didiamkan saja oleh roma. Sebaliknya, tidak tepatlah untuk menyimpulkan bahwa salah satu tradisi ditetapkan untuk diikuti disini. Memang benar bahwa St. Thomas mengalami banyak kesulitan karena menerima dan memperkembangkan Aristotelesme. Tetapi kesulitan-kesulitan seperti itu tidak berlangsung lama. Bahkan sewakru filsafat Aristoteles mendominasi kehidupan inteelektual universitas ini, pada abad XIII dan XIV tetaplah memberi ruang bagi macam-macam pandangan filosofis.


1.        St. Bonaventura 1221 – 1274
St. Bonaventura, Giovanni Fidanza, lahir di bagnorea, tuscary, pada tahun 1221. Sewaktu kanak-kanank dia sakit, dan melaluli doa ibunya dengan peantaraan St. Fransiskus Assisi, dia disembuhkan. Maka dia masuk ordo frensiskan kira-kira tahun 1240. Ia belajar di bawah bimbingan alexander dari hsles. Rupanya ajaran alexander begitu mempengaruhi Bonaventura, sebab didalam praelocutio prooemio in secundum librum sententriarum praemissa Bonaventura menyatakan bahwa mulai dengan buku pertama dari sentenoes ia telah merangkul pendapat umum para gurunya, terutama pendapat-pendapat “guru dan bapa kita saudara alexander yang telah tiada”. Jelaslah bahwa Bonaventura relah dirasuki oleh tradisi fransiskan, i.e. agustian dan oa bermaksud merusaknya.

A. Eksistansi Allah

St. Bonaventura, seperti St. Agustin, pada dasarnya tertarik pada hubungan jiwa Allah. Minat dasar ini mempunyai pengaruh atas pengolahannya mengenai bukti-bukti adanya Allah. Ia terutama bermaksud untuj menunjukan bukti-bukti sebagai tahap-tahap bagi perjalananan naik jiwa menuju Allah. Perlu disadari bahwa Allah yang akan dibuktikan bukanlah melulu suatu prinsip abstarak dari penegtahuan, tetapi Allah dari kesadaran Kristen, Allah kepada siapapun manusia berdosa.
Maka Bonaventura lebih menekankan bukti-bukti dari dalam daripada bukti-bukti dari luar, yaitu bukti-bukti dari dunia materiil. Memang Bonaventura juga membuktikan adanya Allah berdasar dunia inderawi, dan ia menunjukkan bagaimana penegtahuan mengenai pengada-pengada yang terbatas, tidak smepurna, komposit, bergerak dan kontingan, manusia dapat mencapai pengertian mengenai Pengada yang tek terbatas, sempurna, tunggal, tidak berubah dan niscaya.
Bonaventura tidak pernah menyangkal sedikit pun bahwa eksistansi Allah dapat dinuktikan dari ciptaan: sebaliknya ia menegaskannya. Di dalam komentarnya mengenai sentoces ia menyatakan bahwa Allah daoat diketahui melalui ciptaan sebagai penyebab melalui akibat. Cara berfikir demikian, menurut Bonaventura, adalah umum bagi manusia sejauh bagi kita benda-benda merupakan sarana kita untuk sampai kepada pengetahuanmengenai “intelligibilia”, yaitu objek-objek yang mengatasi indera.
Di dalam In Haxaemaron, Bonaventura berargumentasi bahwa bila ada pengada yang dihasilkan, pasri ada pengada pertama, sebab hatus ada suatu sebab: jika ada pengada ab alio, harus ada pengada a se; bila ada pengada komposit, harus ada pengada simpleks; bila ada pengada yang dapat berubah, harus ada pengada yang tak berubah.
Mirip dengan itu adalah suatu seri bukti-bukti, di dalam de mysterio trintitas, untuk menunjukkan bagaimana penciptaan dengan jelas menyatakan eksistansi Allah. Misalnya, bila ada en sab alio, pasti ada ens on ab alio, karena tidak ada suatu pun yang dapat memnindahkan dirinya dari keadaan tidak ada dan ada, dan akhirnya harus ada suatu pengada pertama yang ada dari dirinya sendiri. Lagi, bila ada ens possibile, pengada yang dapat ada dan dapat tidak adam harusnya ada ens necessarium, pengada uang tidak mungkin tidak ada, sebab hal ini penting untuk menjelaskan munculnya pengada yang hanya mungkin menjadi benar-benar ada; dan bila ada ens in poteria, harus ada ens in actu, sebab tidak ada potensi yang dapat direduksi ke aktus kecuali melalui tindakan dari apa yang sudah di dalam aktus; ahirnya harus ada aotua purus, suatu pengada yang merupakan aktus murni, anpa potentialitas apapun, yaitu Allah. Juga bila ada ens mutabile, harus ada ens im mutabila sebab, sebagaimana telah dibuktian oleh aristoteles, gerakan mempunya, sebabgai perinsipnya, pengada yang tak tergerakkan, dan berada demi pengada yang tak tergerakan, yang merupakan sbeab finalnya.
Untuk menunjukan bahwa kesaksian-kesaksian benda ciptaan akan adanya Allah berfungsi sebagai saran bagi jiwa untuk naik kepada Allah,Bonaventura menekankan bahwa dunia inderawi merupakan cermin Allah dan pengetahuan inderawi atau pengetahuan yang diperoleh melalui indera dan refeleksi akan objek-objek inderawi merupakan langkah pertama di dalam tahap-tahap perjalanan jiwa. Tambahan lagi di dalam artikel dari De Mysterio Trinitatis,dia menekankan bahwa eksistensi Allah merupakan kebeneran mutlak yang telah ditanamkan di dalam budi manusia.
Bonaventuro menjelaskan bahwa kebeneran mutlak ini merupakan kesadaran yang samar-samar,merupakan pengetahuan implisit yang sama sekali tidak dapat di sangkal dan bisa menjadi eksplisit serta jelas melalui refleksi batin saja,,meskipun kadang-kadang membutuhkan bantuan dengan refleksi atas dunia inderawi.Pengetahuan implisit ini, misalnya terlukis didalam keinginan kodrati manusia akan kebahagiaan.Tetapi kebahagiaan terletak di dalam pemilihan kebaikan tertinggi, yaitu Allah.Maka setiap manusia menginginkan Allah.Tetapi tidak ada keinginan tanpa pengetahuan sedikitpun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar