Minggu, 30 Maret 2014

BUDAYA

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kataculture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.

Dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.


Gambar 1.1 Kebudayaan Indonesia



Sumber , Rabu 16 April 2014
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
  • http://syifadiba.wordpress.com/2013/04/04/makalah-peran-multikulturalisme-dalam-menjaga-eksistensi-budaya-nasional/

Filsafat dan Teologi (hal 21-30)


Seperti Agustirus, Anselmus tidak membedakan secara jelas bidang teologi dan filsafat. Di dalam monologium, anselmus memperkembangkan bukti adanya Allah dari tingkat tingkat kesempurnaan yang terdapat di dalam ciptaan di dalam bab 1, ia menggunakan argument tentang kebaikan, dan di dalam bab 2, argument mengenai keagungan. Sifat sifat itu terdapat di dalam macam macam tingkat dari objek pengalaman, sehingga argument berkembang dari pengamatan empiris, misalnya tingkat tingkat kebaikan makhluk. Makan proses ini merupakan pembuktian aposteriori. Tetapi penilaian mengenai taraf taraf kesempurnaa mengendaikan suatu norma kesempurnan. Kenyataan bahwa benda benda ambil bagian secara objektif di dalam kebaikan menurut tingkat tingkat yang berlainan menunjukan bahwa norma sendiri bersifat objektif, yang berarti bahwa ada suatu kebaikan absolut di mana semuahal yang baik berpartisipasi. Pembuktian yang berbau platonic ini disebut apostariori, yakni bahwa pembuktian ini tidak bergerak dari ide mengenai kebaikan absolut menuju eksistensi kebaikan absolut, melainkan dari tingkat tingkat kebaikan yang diamati secara inderawi ke eksistensi kebaikan absolut,, dan dsri tingkat tingkat kebijaksanaan empiris ke eksistensi kebijaksaan absolut. Kebaikan dan kebijaksanaan absolut diidentikan dengan Allah. Prinsipnya: bila ada objek memiliki kebaikan terbatas, mereka pasti memiliki kebaikan mereka dari kebaikan absolut sendiri, yang baik dari dirinya sendiri dan bukan berasal dari yang lalu.

Di dalam bab 3 dari Monologium, Anselmus menggunakan cara pembuktian yang sama. Apapun yang ada, berada ata melalui suatu yang lain atau melalu ketiadaan. Kemungkinan kedua hal adalah absurd. Maka semua yang berada atay saling mengadakan atau melalui diri mereka sendiri atau melalui satu penyebab keberadaan. Tetapi kemungkinan pertama tidak masuk akal. Maka pilihannya atau ada macam-macam sebab yang tidak disebabkan atau satu sebab tak tersebabkan. Sampai sini cukup sederhana; pembuktian melalui penyebaban. Tetapi untuk melanjutkannya, anselmus memperkenalkan suatu unsur platonic, sewaktu ia berpendapat bahwa bila ada macam macam pengada yang ada dari dirinya sendiri, maka mereka harus ambil bagian di dalam pengada utama, yang dari dirinya sendiri mengatasi dan lebih unggul dari yang lain.

Di dalam proslogium, anselmus memperkembangkan apa yang disebut ‘bukti ontologis’, yang bergerak dari ide mengenai Allah ke pengalaman mengenai Allah yang riil dan eksistensial: Allah adalah sesuatu yang terbesar, sehingga sesuatu yang lebih besar daripadaNya tidak terbayangkan. Padahal ‘sesuatu yang terbesar, sehingga sesuatu yang lebih besar daripadaNya tidak terbayangkan’ harus ada secara eksistensial di luar budi, tidak hanya sebagai ide yang berada di dalam budi. Maka Allah ada, tidak hanya sebegai ide di dalam pikiran, tetapi secara eksistensial di luar pikiran.

Pada masa hidup anselmus sendiri bukti dari proslogium sangatlah kecil pengaruhnya. Tetapi di abad XIII bukti ini digunakan oleh St. Boneventura, dengan lebih bernada psikologis daripada logis, sementara st. Thomas menolaknya. Duns scotus menggunakannya sebagai pertolongan. Di jaman modern bukti ontologis ini mempunyai karir yang istimewa. Descertas mengambil dan menyesuaikan bukti ini, Leibniz mempergunakannya secara hati hati dan bijaksana, sementara kant menyerangnya.

Pengaruh agustinus terhadap filsafat anselmus dapat dirasakan antara lain di dalam teorinya mengenai kebenaran. Bila ia berbicara mengenai kebenaran di dalam penilaian, ia mengikuti pandangan aristoteles; penilaian atau prorporsi menyatakan apa yang sesungguhnya berada atau menyangkal apa yang tidak ada; tetapi, setelah membicarakan kebenaran kehendak, anselmus meneruskan berbicara mengenai kebenaran pengada atau essensi dan menyatakan bahwa kebenaran barang barang terletak di dalam “menjadi apa menurut seharusnya”, yakni di dalam perwujudan atau kesesuaian dengan ide ide mereka di dalam Allah, sang kebenaranAgung dan norma segala kebenaran, anelmus mengikuti jejak agustinus. Demikian pula sewaktu anselmus menyimpulkan keabadian dari sebab kebenaran agung dan norma segala kebenaran, anselmus mengikuti jejak agustinus. Allah adalah kebenaran abadi dan mandiri, yang menjadi sebab dari kebenaran ontologis semua ciptaan. Kebenaran abadi adalah sebab semata mata dan kebenaran penilaian adalah akibat semata mata, sedangkan kebenaran ontologis ciptaan adalah sekaligus sebab dan akibat.

3. Filsafat Islam
Filsafat arab merupakan salah satu saluran utama bagi diperkanalkannya filsafat aristoteles yang komplit kepada dunia barat. Tetapi filsuf filsuf agung islam abad pertengahan, seperti Avicenna (Ibn Sina) dan averoes (Ibn Rushd), tidak hanya meneruskan atau mengomentari, tetapi mereka sendiri mengubah dan memperkembangkan filsafat aristoteles, kurang lebih menurut semangat neo-platonis, dan beberapa di amtara mereka menafsirkan aristoteles berkaitan dengan pokok pokok penting yang secara eksegatis benar atau tidak, bertentangan dengan iman dan teologi Kristen. Aristoteles yang diperkenalkan oleh averroes tentulah tidak sesuai dengan kebijasnaan atau filsafat Kristen. Maka menimbulkan pertentangan denan tradisi Kristen yang menganggap filsuf filsuf Kristen lainnya. Makan dapat dimengerti bahwa perhatian terhadap filsuf filsuf Islam oleh mereka, khususnya St. Thomas yang memandang filsafat tersebut tidak hanya sebagai suatu alat yang berharga untuk mengekspresikan dialektik teologi Kristen di dalam system asitotelianm tetapi juga memandangnya sebagai filsafat yang benar, haruslah melengkapi diri dengan bukti bahwa aristotelianisme tidak harus melibatkan Interpretasi yang diberikan olehorang-orang islam . mereka harus melepaskan diri dari Averroes dan harus membedakan Aristotelianisme mereka dari Aristotelianisme Averroes

A.           Alfarabi ( meninggal ±950)
Ia termasukmasab Baghdad. Alfarabi memperkenalkan logika Aristoteles ke dunia Islam, sedangkan ia membedakan departemen filsafat dari teologi, sehingga filsafat dipisahkan dari teologi. Filsafat terdiri dari fisika – yang didalamnyua termasuk antara lain psikologi dan epistimologi – metafisika serta atika atau filsafat praktis. Skema teologinya meliputi bagian-bagian mengenai :
1.      Kemahakuasaan dan keadilan Allah ;
2.      Kesatuan dan sebutan-sebutan lain dari Allah ;
3.      Ajaran mengenai hukuman di hidup akhirat ;
4 & 5. Mengenai hak-hak individual dan hubungan social dari orang islam

Alifarabi menggunakan bukti-bukti Aristoteles di dalam membuktikan adanya Allah. Dengan pengandaian bahwa benda-benda duniawi  digerakkan secara pasif. Suatu ide yang sesuai benar dengan teologi Islam, maka mereka pasti menerima gerakandari suatu Penggerak Pertama, yaitu Allah. Lagi, benda0benda duniawi bersifat kontingen, yang berarti tidak ada secara niscaya ; esensi mereka tidak melibatkan eksistensi mereka, sebagaimana nyata dari kenyataan bahwa mereka mulai berada dan lenyap dari peredaran. Maka mereka secara niscaya menerima eksistensi mereka, dan suatu yang utama dengan sendirinya merupakan suatu Yang Ada yang berada secara essensial, sebagai keharusan, dan merupakan sebab dari keberadaan dari semua pengada kontingen.

Tetapi sistem Alfarabi secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh filsafat neo-Platonis. Tema emanasi dipergunakan untuk memperlihatkan bagaimana dari keallahan, atau Yang Satu, muncul Inteligens dan Jiwa Dunia, dari ide muncul dunia, dari angkasa tinggi atau luar agkasa dalam (rendah).  Menurut Alfarabi benda0benda berjasad terbentuk dari materiadan forma. Inteligens manusia diterangi oleh inteligens kosmis, yang merupakan intelek manusia yang aktif. Lebih lagi, penerangan intelek manusia merupakan penjelasan bahwakonsep-konsep kita sesuai dengan bendanya,  karena ide-ide dalam Allah sekaligus merupakan exemplar dari sumber konsep di dalam budi manusia dan dari forma di dalam benda-benda.
Ajaran illuminasi ini dihubungkan, tidak hanya dengan neo-Platonisme, tetapi juga dengan mistik Timur. Alfarabi sediri erat hubungannya dengan  Sekolah mistik sekte Sufi, dan filsafatnya mempunyai orientasi keagamaan. Tugas tertinggi manusia adalah  mengenal Allah dan, sebagaimana proses keseluruhan dari semesta mengalir dari Allah, demikianlah manusia yang muncul dari Allah di dalam prosesemanasi dan yang diterangi oleh Allah. Maka manusia harus berusaha kembali dan menyerupai Allah.
B.               Avicenna ( Ibn Sina ) 980 – 1037
Filsuf terbesar dari grup Timur adalah Avicenna. Dia adalah pencipta sebenarnya dari sistem Skolastik di dunia Islam. Karya agungnya adalah As-Sifa, dikenal sebagai Sufficientiae, di abad Pertengahan, yang terdiri dari logika, fisika, matematika, psikologi dan metafisika. Meskipun dia meminjam dari Aristoteles, dan neo-Platonisme, dia memperlihatkan bentuknya sendiri yang membuat jelas bahwa dia telah memikirkan masak-masak sitemnya sendiri.
Menurut Avicenna konsep keniscayaan merupakan konsep utama, sebab menurut dia semua yang ada harus ada. Namun ada dua jenis keniscayaan : objek tertentu di dunia ini tidak niscaya dari dirinya sendiri, essensinya tidak melibatkan keniscayaan akan keberadaannya, sebagaimana nyata bahwa benda itu mempunyai awal dan akhir dari adanya. Namun benda itu pasti ada karena keberadaannya ditentukan oleh tindakan niscaya oleh sebab dari luar. Benda itu disebabkan dan bersifat ‘relatif’, tetapi tindakan dari penyebabnya ditentukan secara niscaya.
Maka rantai penyebab tidak mungkin tidak terbatas, sebab seandainya tak terbatas tidak ada alasan untuk keberadaan dari apa pun, tetapi pastilah ada penyebab pertama yang tidak tersebabkan. Pengada tidak bersebab ini, yaitu Pengada Mutlak, tidak mungkin menerima essensinya dari yang lain, dan tidak mungkin keberadaannya merupakan bagian dari essensinya. Alasannya ialah bahwa susunan dari bagian-bagian akan melibatkan sebuah sebab penyatu yang lain essensi dan eksistensi pastilah identik di dalam Pengada mutlak.
Erat dengan perbedaan antara yang mungkin dan yang mutlak adalah perbedaaan antara potensialitas dan actus. Potensialitas, sebagaimana terdapat di dalam Aristoteles, adalah prinsip dari perubahan kepada yang lain sebagai yang lain, dan prinsip ini dapat ada di dalam pelaku (potensi aktif) atau di dalam penderita (potensi pasif). Tambahan lagi ada tingkat potensu dan aktus, mulai dari yang terendah, yaitu potensi murni (materia prima) dan yang tertinggi, yaitu aktus murni (pengada mutlak). Dari sini Avicenna menunjukkan bahwa Allah adalah Kebenaran, Kebaikan, Cinta dan Hidup.
Karena Allah adalah Kebaikan Mutlak, ia secara niscaya cenderung membagikan kebaikannya, menyinarkannya, dan ini berarti bahwa ia secara niscaya mencipta. Karena Allah itu Pengada Mutlak, semua sebutan-Nya tentulah mutlak ; maka Ia adalah Pencipta. Oleh karenanya, ciptaan juga harus ada dari semula, karena kalau Allah secara niscaya harus menjadi Penciptadan Allah itu abadi, ciptaan haruslah abadi.
Tambahan lagi, kalau Alah menciptakan secara niscaya, berdasarkan kodrat-Nya, akibatnya tidak ada pilihan bebeas di dalam penciptaan. Dengan kata lain, Allah tidak dapat menciptakan lain atau menciptakan benda-benda lain dari pada yang sungguh-sungguh Ia ciptakan. Tetapi Allah hanya dapat menghasilkan langsung pengada seperti diri-Nya sendiri; tidak mungkinlahbahwa Ia menciptakan benda-benda materiil secara langsung. Secara logis pengada pertama yang muncul dari Allah adalah Inteligens pertama. Inteligens ini diciptakan dalam arti bahwa ia muncul dari Allah: ia menerima keberadaanya, dan dengan demikian mulailah dualitas. Antara yang satu dengan dirinya.
Sementara di dalam Yang Satu tidak ada dualitas, di dalam Inteligens pertama ada dualitas antara essensi dan eksistensi, sejauh eksistensi itu diterima, dan juga ada dualitas pengetahuan, sejauh Inteligens pertama tahu bahwa Yang Satu atau Allah itu mutlak, sedangkan dirinya ‘mungkin’. Avicenna menyimpulkan adanya 10 Inteligensantara kesatuan Allah dan bermacamnya ciptaan. Inteligens kesepulah adalah “pemberi forma/bentuk”, yang diterima dari materia prima, potensialitas murni, sehingga pelipatgandaan di dalam satu species mungkin. Inteligens yang terpisah dapat berbeda satu sama lain hanya berdasarkan speciesnya, berkat kedekatan atau kejauhan dari Yang Satu dan semakin kurang utuhnya di dalam proses essensi.
Ide Avicenna mengenai penciptaan secara niscaya dan penyangkaannya bahwa Yang Satu mempunyai pengetahuan langsung akan bermacam-macam objek konkret bertentangan dengan teologi Qur’an. Tetapi ia berusaha sedapat mungkin mendamaikan sistemnya yang Aristotelism dan neo-Platonis dengan ajaran ortodox Islam. Misalnya, ia tidak menyangkal kehidupan kekal jiwa manusia, sekalipun ajarannya tentang keterpisahan intelek aktif. Dan ia menafsirkan secara intelektualitis: imbalan berupa pengetahuan akan objek-objek yang melulu terselamai, hukuman adalah peniadaan pengetahuan.
Ketika bagian-bagian tulisan Avicenna diterjemahkan ke dalam bahasa Latin di abad keduabelas, dunia Kristen menemukan dirinya dihadapkan untuk pertama kalinya dengan suatu sistem  yang tersusun rapih, yang tentu saja menarik perhatian.
C.          Avveroes ( Ibn  Rushd ) 1126 -1198
Dia menyusun komentar mengenai Aristoteles. Komentar-komentarnya dapat dikelompokkan :
1.      Komentar tengah: Averroes memberikan isi dari ajaran Aristoteles, sambil menambahkan penjelasan dan memperkembangkannya sedemikian rupa, sehingga tidak selalu mudah untuk membedakan mana yang berasal dari Aristoteles dan mana dirinya.
2.      Komentar yang lebih besar: memberikan teks asli Aristotelesdan memberinya komentar.
3.      Komentar kecil; memberikan kesimpulan dari penalaran Aristoteles dan menghilangkan pembuktian-pembuktiannya dan sumber-sumber historis, dengan tujuan mahasiswanya  tidak dapat menelusuri sumber-sumbernya atau komentar-komentar yang lebih besar.
    Jangkauan metafisik meliputi bahan dari material murni sebagai batas terendah sampai Aktus murni, yaitu Allah sebagai batas tertinggi, dab du abtara keduanya terdapat objek-objek yang terbentuk dari potensi dan aktus. Materi prima, yang sejajar dengan ketiadaan, sebagai potensi murni dan tanoa ketentuan, bukanlah sifat aktus kreatif: maka harus seabdi dengan Allah. Allah menarik ata memuncilkan forma dari benda benda materiil dari potensi material murni, dan menciptakan 10 inteligens, yang secara ekstrinsik dihubungkan dengan angkasa-angkasa, sehingga teori emanasi Avicenna dihindari dan pantheismo murni dikesampingkan.
    Tetapi ia tidak menerima kehidupan kekal individual. Averros berpendapat bahwa intellectus material (pasif) adalah substansi yang sama dengan intelektual agens (aktif), dan keduanya tidak musnah dalam kematian, tetapi substansi ini merupakan suatu inteligens tersendiri dan terpisah. Intelek pasif individual di dalam masing masing manusia, berkat kegiatan intelek aktif, ‘menjadi intelek yang dicapai’, yang dihisiap oleh intelek aktif sedemikian rupa, sehingga meski tidak terkna kematian badan, kehidupan setelah kematiannya bukanlah eksistensi individual, melainkan sebagai unsure di dalam intelligence umat manusia yang sifatnya umum.
    Lebih menarik lagi adalah ajaran Averroes mengenai hubungan filsafat dan teologi. Ia mencoba mendamaikan keduanya dengan aa yang disebut teori kebenaran ganda. Suatu keberadaan yang sama dapat dimengerti dengan jelas di dalam filsafat dan dinyatakan secara kiasan di dalam teologi. Perumusan ilmiah dari kebenaran tercapai hanya di dalam filsafat, sedangkan kebenaran yang sama dinyatakan di dalam teologi denganc cara yang berbeda. Ajaran dengan kiasan dari Qur’an menyatakam kebenaran dengan cara yang dapat dimengerti oleh orang biasa, orang yang tak terpelajar, sedangkan filsuf menelanjangi kulit allegoris dan mencapai kebenaran aslinya. Yang dilakukan oleh Averroes adalah meletakan teologi di bawah filsafat dan filsafat menilai teologi, sehingga filsuflah yang memutuskan ajaran teologis mana yang perlu ditafsirkan secara allegoris dan dengan cara bagaimana.

4. Filsafat Yahudi

A. Avicebron (Salomon Ibn Gabirol) 1021 – 1069/70
    Karya utamanya adalah Fons Vitas, yang aslinya berbahasa Arab (hilang). Karyanya ini terdiri dari lima buku dan mempunyai pengaruh besar terhadap Skolastik Kristen. Pengaruh neo – Platonism nyata di dalam skemanya yang bersifat emansionis. Puncak dari hirarki pengada dan sumber dari segala pengada terbatas adalah Allah yang satu dan tidak dapat difahami di dalam intuisi ekstase. Avucebron menambahkan ajaran mengenai kehendak ilahi, yang olehnya semua oengada lebih rendah diciptakan, atau dari mana mereka muncul.  Kehendak ilahi, seperti halnya Allah sendiri, mengatasi susunan material dan forma, dan dapat difahami hanya di dalam pengalaman mistik. Tetapi hubungan Allah dan kehendak ilahi tidak mudah ditentukan. Dari Allah, melalui kehendak ilahi (logos), entah Allah dari satu aspek atau sebagai suatu hypostesis disting, munculah roh kosmis atau Jiwa Dunia, yang lebih rendah dari Allah dan terdiri daru material dan forma, material universals dan forma universalis. Dari Jiwa Dunia muncullah roh0roh murni dan benda benda wedag.
     
    Yang lebih menarik adalah ajarannya mengenai persatuan hylomorphis universal di dalam semua pengada di bawah Allah. Ajaran ini secara tidak langsung ditarik dari Plotirus dan memperngaruhi satu tradisi Skolastik Kristen. Sebagaimana dari JIwa Dunia muncil forma forma individual, demikian juga dari Jiwa Dunia muncil material spiritual, yang hadir di dalam Inteligens dan di dalam jiwa rasonal, dan material badani. Materia yang tidak dari dirinya sendiri melibatkan kejasadan, merupakan prisnsip dari pembatasan dan keterbatasan di dalam semua makhluk: maka susunan hylomorhik lah yang membedakan ciptaan dari Allah, karena di dalam Allah tidak ada senyawa. Ajaran tentang senyawa hylomorphik universal di dalam makhluk ini ditekanan oleh St. Bonaventura juga.
    
    Tambahan lagi, terdapat pluralitas dai tingkat tingkat kesempurnaan, misalnya manusia, mikrokosmos, mempunyai kesempurnaan raga, kehidupan vegetative, kehidupan sensitive dan kehidupan intelektual. Setiap pengada ragawi mempunyai forma ragawi, tetapi masih harus ditentukan lebih lanjut tempat khusunya di dalam horarki pengada. Penempatan ini terjadi dengan penerimaan forma dari forma forma yang menentukannya, misalnya benda hidup, binatang, anjing. Ajaran Avicebron benar benar merupakan asal dari teori Sekolah Agustinian mengenai pluralitas forma, tetapu harus diingat bahwa  ajaran ini cocok dengan skema filsafat Agustinian, sebab Agustinus sendri telah menagajrakan bahwa fungsi forma forma lebih rendah ialah untuk mengantar kepada forma forma lebih tinggi sebagaimana tercerminkan di dalam pengetahuan manusia, yaitu bahwa kontemplasi mengenai taraf taraf lebih renda harus mengantar jiwa jiwa ke taraf taraf yang lebih tinggi.

B. Moses Maimonides 1135 – 1204
    Di dalam Guide of the Doubting, Maimonides mencoba memberi dasar rasional teologi di dalam filsafatnya, yang adalah filsafat Aristoteles. Kita harus pegang teguh apa yang diberikan kepada kita di dalam persepsi inderawi dan apa yang dinalarkan secara ketat oleh intelek: Jika pernyataan dalam perjanjian lama jelas jelas bertentangan dengan apa yang dinalarkan aksi, maka pernyataan itu harus ditafsirkan secara allegoris. Namun tidak berarti bahwa Maimonides membuang ajaran teologi bilamana tidak ada kesesuaian dengan ajaran Aristoteles. Misalnya, teologi mengaharkan penciptaam dunia di dalam waktu dari ketiadaan, yang berarti bahwa Allah haruslah menciptakn material dan forma, dan bahwa dunia tidak mungkin abadi. Bila keadaan dunia dapat ditunjukan oleh akal sedemikian rupa sehingga apa yang bertentangan jelas tidak mungkin, maka kita harus menginterpretasikan Kitab Suci sesuai dengannya. Tapi kenyataannya ajaran Kitab Suci begtu jelas dan dasar dasar filosofis untuk membuuktikan kabadian dunia tidak konklusif; maka kita harus menolak ajaran Aristoteles dalam hal ini.
    Mengandalkan sebagian pada teologi natural Alfarabu dan Avicenna, Maimonedes membuktikan adanya Allah dnegan macam macam jalan, beragumentasi dari ciptaan Allah sebgai Penggerak pertama, sebagai Pengada nutlak dan sebagai Sebab pertama. Argumen ini dia dasarkan pada pernyataan Aristoteles di dalam Physia dan Metaphysica. Tetapi jika Maimonedes mengantsipasi sebagian besar dari macam-macam bukti St. Thomas, ia lebih menekankanpada sebutan sebutan positif yang tidak dapat diterapkan kepada Allah.
    Tidak seperti Avicebron, Maimonedes member tempat kepada prvidensia khusu kepada Allah berkaitan dengan makhkuk khusus, meskipun ini hanya berlaku bagi manusia, sejauh menyangkut dunia materil. Intelligens kesepuuluh adalah intelek aktif, sedangjan intelek intelek pasif dari orang orang individual dan benar akan hidup kekal. Jadi kehidupan kekal hanya berlaju bagi orang benar. Maimonedes mepertahankan kebebasan yang memungkinkan orang bisa menjadi benar. Ia menilaj pengaruh benda benda langit dan angkasa yang seirng dainggap menentukan tindakan manusia.


III.JAMAN KEEMASAN ABAD PERTENGAHAN: ABAD XIII
    
    Semua teolog dan filsuf abad  XIII mempunyai huubungan erat dengan universitas Pairs. Alexander dari Hales, St. Bonaventura, St. Albertus Agung, St. Thomas Aquinas. Matthew dari Aquasparta, Roger Marston, Richard dari Middleton, Roger Bacon, Giles dari Roma, Siger dari Brabant, Henry dari Gent, Raymon Lull, Duns Scotus, atau belajar mengajar atau dua duanya di Paris.
    Tetapi ousat pusat pendidikan lain juga berkembang dan menjadi penting. Misalnya, Unibersitas Oxford dihubungkan dengan nama nama seperti Robert Grossteste, Roger bacon dan Duns Scotus. Sementara Paris merupakan kubu pertahanan tradisi Aristotelianisme, Oxfor ditandai denganc ampuran antara Agustinaian dan Empiricsm. Namun, meskipun kedudukan Oxford, bologna dan Papal Court cukup penting, Universitas Paris merupakan pusat terpenting dari pendidikan tinggi di dunia Kristen pada abad XIII. Para ilmuwan, yang dating ke Paris untuk studi dan kembali ke Oxford atau Bologna untuk mengajar, membawa kembali semangat dan cita cita Universitas Paris. Bahkan ilmuwan yang tidak pernah dating ke Paris, menerima kewibawaan universitas ini.

Sifat international dari universitas paris, dengan kedudukan pentingnya di dalam ajaran dan pembelan terhadap kristianitas, membuat tahta suci sangat berminat untuk memperhatikan pelestarian ortodotaksi religious dikampus ini. Maka pertikaian mengenai averroisme harus disoroti daro posisi international universitas ini: universitas paris mewakili kebudayaan intelektual dari abad pertengahan, sejauh berhubungan dengan filsafat dan teologi. Penyevaran suatu sistem yang tidak dapat didamaikan dengan kristiaritas tidak bisa didiamkan saja oleh roma. Sebaliknya, tidak tepatlah untuk menyimpulkan bahwa salah satu tradisi ditetapkan untuk diikuti disini. Memang benar bahwa St. Thomas mengalami banyak kesulitan karena menerima dan memperkembangkan Aristotelesme. Tetapi kesulitan-kesulitan seperti itu tidak berlangsung lama. Bahkan sewakru filsafat Aristoteles mendominasi kehidupan inteelektual universitas ini, pada abad XIII dan XIV tetaplah memberi ruang bagi macam-macam pandangan filosofis.


1.        St. Bonaventura 1221 – 1274
St. Bonaventura, Giovanni Fidanza, lahir di bagnorea, tuscary, pada tahun 1221. Sewaktu kanak-kanank dia sakit, dan melaluli doa ibunya dengan peantaraan St. Fransiskus Assisi, dia disembuhkan. Maka dia masuk ordo frensiskan kira-kira tahun 1240. Ia belajar di bawah bimbingan alexander dari hsles. Rupanya ajaran alexander begitu mempengaruhi Bonaventura, sebab didalam praelocutio prooemio in secundum librum sententriarum praemissa Bonaventura menyatakan bahwa mulai dengan buku pertama dari sentenoes ia telah merangkul pendapat umum para gurunya, terutama pendapat-pendapat “guru dan bapa kita saudara alexander yang telah tiada”. Jelaslah bahwa Bonaventura relah dirasuki oleh tradisi fransiskan, i.e. agustian dan oa bermaksud merusaknya.

A. Eksistansi Allah

St. Bonaventura, seperti St. Agustin, pada dasarnya tertarik pada hubungan jiwa Allah. Minat dasar ini mempunyai pengaruh atas pengolahannya mengenai bukti-bukti adanya Allah. Ia terutama bermaksud untuj menunjukan bukti-bukti sebagai tahap-tahap bagi perjalananan naik jiwa menuju Allah. Perlu disadari bahwa Allah yang akan dibuktikan bukanlah melulu suatu prinsip abstarak dari penegtahuan, tetapi Allah dari kesadaran Kristen, Allah kepada siapapun manusia berdosa.
Maka Bonaventura lebih menekankan bukti-bukti dari dalam daripada bukti-bukti dari luar, yaitu bukti-bukti dari dunia materiil. Memang Bonaventura juga membuktikan adanya Allah berdasar dunia inderawi, dan ia menunjukkan bagaimana penegtahuan mengenai pengada-pengada yang terbatas, tidak smepurna, komposit, bergerak dan kontingan, manusia dapat mencapai pengertian mengenai Pengada yang tek terbatas, sempurna, tunggal, tidak berubah dan niscaya.
Bonaventura tidak pernah menyangkal sedikit pun bahwa eksistansi Allah dapat dinuktikan dari ciptaan: sebaliknya ia menegaskannya. Di dalam komentarnya mengenai sentoces ia menyatakan bahwa Allah daoat diketahui melalui ciptaan sebagai penyebab melalui akibat. Cara berfikir demikian, menurut Bonaventura, adalah umum bagi manusia sejauh bagi kita benda-benda merupakan sarana kita untuk sampai kepada pengetahuanmengenai “intelligibilia”, yaitu objek-objek yang mengatasi indera.
Di dalam In Haxaemaron, Bonaventura berargumentasi bahwa bila ada pengada yang dihasilkan, pasri ada pengada pertama, sebab hatus ada suatu sebab: jika ada pengada ab alio, harus ada pengada a se; bila ada pengada komposit, harus ada pengada simpleks; bila ada pengada yang dapat berubah, harus ada pengada yang tak berubah.
Mirip dengan itu adalah suatu seri bukti-bukti, di dalam de mysterio trintitas, untuk menunjukkan bagaimana penciptaan dengan jelas menyatakan eksistansi Allah. Misalnya, bila ada en sab alio, pasti ada ens on ab alio, karena tidak ada suatu pun yang dapat memnindahkan dirinya dari keadaan tidak ada dan ada, dan akhirnya harus ada suatu pengada pertama yang ada dari dirinya sendiri. Lagi, bila ada ens possibile, pengada yang dapat ada dan dapat tidak adam harusnya ada ens necessarium, pengada uang tidak mungkin tidak ada, sebab hal ini penting untuk menjelaskan munculnya pengada yang hanya mungkin menjadi benar-benar ada; dan bila ada ens in poteria, harus ada ens in actu, sebab tidak ada potensi yang dapat direduksi ke aktus kecuali melalui tindakan dari apa yang sudah di dalam aktus; ahirnya harus ada aotua purus, suatu pengada yang merupakan aktus murni, anpa potentialitas apapun, yaitu Allah. Juga bila ada ens mutabile, harus ada ens im mutabila sebab, sebagaimana telah dibuktian oleh aristoteles, gerakan mempunya, sebabgai perinsipnya, pengada yang tak tergerakkan, dan berada demi pengada yang tak tergerakan, yang merupakan sbeab finalnya.
Untuk menunjukan bahwa kesaksian-kesaksian benda ciptaan akan adanya Allah berfungsi sebagai saran bagi jiwa untuk naik kepada Allah,Bonaventura menekankan bahwa dunia inderawi merupakan cermin Allah dan pengetahuan inderawi atau pengetahuan yang diperoleh melalui indera dan refeleksi akan objek-objek inderawi merupakan langkah pertama di dalam tahap-tahap perjalanan jiwa. Tambahan lagi di dalam artikel dari De Mysterio Trinitatis,dia menekankan bahwa eksistensi Allah merupakan kebeneran mutlak yang telah ditanamkan di dalam budi manusia.
Bonaventuro menjelaskan bahwa kebeneran mutlak ini merupakan kesadaran yang samar-samar,merupakan pengetahuan implisit yang sama sekali tidak dapat di sangkal dan bisa menjadi eksplisit serta jelas melalui refleksi batin saja,,meskipun kadang-kadang membutuhkan bantuan dengan refleksi atas dunia inderawi.Pengetahuan implisit ini, misalnya terlukis didalam keinginan kodrati manusia akan kebahagiaan.Tetapi kebahagiaan terletak di dalam pemilihan kebaikan tertinggi, yaitu Allah.Maka setiap manusia menginginkan Allah.Tetapi tidak ada keinginan tanpa pengetahuan sedikitpun.

Hasil Wawancara

Berikut adalah hasil wawancara kami tentang Pandangan Masyarakat Awam Mengenai Psikologi, Sosiologi, Antropologi dan Filsfat.

Pada hari Kamis, tepatnya tanggal 27 Februari saya dan teman-teman dari kelompok 3, yaitu Alohomora mewawancarai dua orang staff dari Binus Univeristy untuk menanyakan tentang waawancara tersebut.



Gambar 1.1 Wawancara

Wawancara tersebut bertujuan untuk mengetahui tentang pandangan masyarakat awam mengenai hal-hal tersebut. Berikut adalah hasil wawancara yang telah kami simpulkan.









1. Persamaan antara Psikologi, Sosiologi, Antropologi dan Filsfat.

Ketiga ilmu di atas mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan manusia.


2. Perbedaan

Meskipun sama-sama berpusat pada manusia, ketiga ilmu di atas memiliki ciri masing-masing yang membedakan antara yang satu dengan yang lain. Berikut adalah ciri-ciri tersebut:

Sosiologi: Ilmu ini lebih berfokus pada hubungan dan interaksi antar manusia. Seperti pergaulan sehari-hari dengan orang di sekitar.


Filsafat: Mempelajari tentang cara pandang, cara berpikir, dan cara bersikap akan ilmu. Menanyakan alasan, tujuan, dan asal usul dari sesuatu.

Psikologi: Mempelajar tentang pola pikir dan perilaku manusia.


3. Kesimpulan

Ketiga ilmu sama-sama mempelajari manusia dan meskipun memiliki perbedaan pada fokus dan ruang lingkupnya, ilmu ilmu tersebut masih berkaitan satu sama lain.

Psikologi dan Gugatan Epistemologis Terhadap Perumpunan Ilmu Dalam Undang Undang Pendidikan Tinggi


Abstrak
Penulis memperlihatkan sekaligus menelaah perdebatan abadi mengenai psikologi, yang pada hakikatnya hendak menjawab pertanyaan,
1. Apakah Psikologi itu
2. Ilmu atau seni/kiat/humaniora?
3. Ilmu alam atau ilmu sosial?
Optimistis untuk memiliki paradigma yang terunifikasi, ataukah selamanya akan memiliki pendekatan-pendekatan yang terfragmentasi. 
Perdebatan tersebut berguna untuk memberikan masukan kepada Pemerintah Indonesia agar “kekerasan epistemologis” sebagai implikasi langsung penempatan psikologi dalam satu rumpun ilmu tertentu dapat lekas dikoreksi. 
Artikel ini dapat menjadi salah satu dasar ilmiah untuk mendukung gagasan bahwa perumpunan ilmu hendaknya diserahkan kepada masing-masing perguruan tinggi di Indonesia.
Kata-kata kunci: rumpun ilmu, psikologi, filsafat, epistemologi, Indonesia.

Pendahuluan
Sejak 1980-an sampai dengan 2000-an, perkembangan literatur psikologi berbahasa Indonesia dapat dikatakan sangat beruntung antara lain karena hadirnya seorang penulis dan penyunting kawakan bernama Agus Cremers. Ia merupakan seorang pastor ordo SVD kelahiran Belanda yang tekun menerjemahkan, menyunting, dan memberi komentar bermutu terhadap karya-karya tokoh-tokoh psikologi dunia, seperti Jung, Rogers, Piaget, Erikson, Fowler, Kohlberg, dan Maslow. Menurut riwayat hidupnya, ia mempelajari filsafat, teologi, antropologi budaya, dan psikologi. Dunia psikologi Indonesia juga menerima kontribusi yang bermakna mengenai Psikologi Analisis Transaksional dari Paul de Chauvigny de Blot, seorang pastor ordo SJ kelahiran Jawa Tengah, yang memiliki riwayat belajar ilmu pasti alam, filsafat ilmu dan kebudayaan, teologi, psikologi dan spiritualitas, serta ekonomi. Dua bukunya yang penting adalah “Mengapa Saya Merasa Tidak Enak? Menggapai Ketenteraman Hidup Berpangkal Kebudayaan Indonesia dengan Analisis Transaksional” (2002), serta “Mengenal Diri Sebagai Orang Indonesia: Menganalisis Orang Berbudaya Indonesia dengan Analisis Transaksional” (2010). Patut diingat pula sumbangsih berharga Kees Bertens, seorang filsuf yang menerjemahkan dan menyunting karya-karya Sigmund Freud tentang Psikoanalisis, serta memberikan rangkuman dan catatan yang signifikan sebagai pengantar kepada pandangan Freud. Cremers dan Bertens menulis disertasi Filsafat, sedangkan de Blot menulis disertasi tentang organisasi bisnis. Di pihak lain, literatur psikologi di Indonesia diperkaya oleh tulisan para ahli “di luar” disiplin psikologi yang menyumbang pemahaman mengenai sub-disiplin psikologi tertentu, seperti pada karya Jonce Marcella Laurens, “Arsitektur dan Perilaku Manusia”(2005), serta karya Jalaluddin Rakhmat, “Psikologi Agama: Sebuah Pengantar” (2004).
Sejumlah kenyataan yang disebutkan ini sulit dibayangkan apabila kita membandingkannya dengan ketentuan Pemerintah yang menyatakan bahwa kualifikasi pendidikan akademik Sarjana dan Pasca Sarjana dosen harus linear, atau paling tidak satu rumpun (Muhammad, 2011). Dalam Lampiran 3 Buku Sertifikasi Dosen Tahun 2011 (http://evaluasi.dikti.go.id/dok/rumpunilmu), Ilmu Psikologi merupakan Sub Rumpun dari Rumpun Ilmu Kesehatan. Sub Rumpun ini terdiri atas lima bidang ilmu, yakni Psikologi Umum (kode 391), Psikologi Anak (kode 392), Psikologi Masyarakat (kode  393), Psikologi Kerja/Industri (kode 394), dan Bidang Psikologi Lain yang Belum Tercantum (kode 395). Dalam hal ini, Psikologi serumpun dengan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Ilmu Gizi, Ilmu Keperawatan, Kebidanan, Rehabilitasi Medik, dan sebagainya; namun tidak serumpun dengan Sosiologi, Antropologi, Pendidikan Luar Biasa, Pengembangan Kurikulum, Kebijakan Publik, dan sebagainya. Rumpun Ilmu Psikologi terpisah dari Rumpun Ilmu Agama dan Filsafat (di mana keahlian Cremers dan Bertens dapat “dikategorikan”); terpisah pula dari Rumpun Ilmu Sosial Humaniora (Humaniora, Politik, Sejarah, Hukum, Sosiologi, Antropologi, dll), dan Rumpun Ilmu Ekonomi (di mana keahlian de Blot dapat “dikategorikan”). Apabila mengikuti ketentuan ini, Cremers, Bertens, dan de Blot sangat tidak dianjurkan untuk menulis buku di bidang Psikologi, karena pendidikan sarjana dan pasca sarjananya tidak serumpun.
Padahal, sewaktu saya bertugas sebagai Dosen Tidak Tetap di Bagian Psikologi Sosial, Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta, saya senantiasa diingatkan oleh Kepala Bagian, Dr. Nani Nurrachman, mengenai arti pentingnya mahasiswa S1 Psikologi Peminatan Psikologi Sosial untuk mempelajari konsep-konsep dari ilmu lain. Sebagai contoh: penting mempelajari konsep-konsep dari sosiolog Georg Simmel dan George Herbert Mead sebagai jembatan antara sosiologi dan psikologi sosial, dalam hal mana keduanya dapat memberikan pengertian kepada pelajar psikologi akan betapa pentingnya pemahaman mengenai konteks sosial dalam menjelaskan dinamika psikologis manusia.
Yang lebih menarik lagi, Pemerintah nampaknya “gamang” dalam menempatkan Psikologi dan Filsafat dalam rumpun ilmu tertentu. 
Apabila kita meninjau peraturan yang lebih baru dan lebih tinggi, yakni Undang Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Psikologi digolongkan dalam Rumpun Ilmu Sosial (sebelumnya: Rumpun Ilmu Kesehatan), sedangkan Filsafat digolongkan dalam Rumpun Ilmu Humaniora (sebelumnya: Rumpun Ilmu Agama dan Filsafat).

Psikologi: Ilmu (Science) atau Seni/Kiat (Art)/Humaniora (Humanities)?
Dalam UU Pendidikan Tinggi 2012, Pasal 10, terdapat enam rumpun ilmu, yakni (a) agama, (b) humaniora, (c) sosial, (d) alam, (e) formal, dan (f) terapan. Psikologi dimasukkan dalam rumpun ilmu sosial, yang didefinisikan sebagai “Rumpun Ilmu Pengetahuan yang mengkaji dan mendalami hubungan antar manusia dan berbagai fenomena masyarakat”.
Jadi, tugas mendasar peneliti atau ilmuwan psikologi adalah terus-menerus mempertimbangkan konteks sosial-kemanusiaan ketika menyusun science, dan mewaspadai konteks ini agar tidak menimbulkan bias yang besar. Dasarnya adalah bahwa hal-hal yang disangka fakta dalam logika ilmu alam sesungguhnya bersifat theory laden. “Fakta ilmiah” senantiasa berubah, bukan karena dunia berubah, namun karena teori kita berubah. Sebagaimana diungkapkan oleh Hesse (1980, dalam Bem & de Jong, 2006) faktor manusia dan sosial itu intrinsik dalam semua sains. Posisi ini tidak perlu mentah-mentah menolak seluruh asumsi-asumsi positivisme, melainkan mengapresiasi peran interpretasi dan siklus hermeneutik antara data dan teori.
Perlu dipertimbangkan juga pernyataan Gross (2009, h. 205) bahwa sementara Psikologi selalu berupaya memodelkan dirinya pada “fisika klasik”, fisika sendiri tidak lagi mengadopsi pandangan “klasik” tentang sains. Fisikawan saat ini meyakini bahwa dunia tidak dapat dipelajari secara objektif, independen dari pengamat yang berupaya mengukurnya. Metode-metode ilmu alam sebaik-baiknya hanya memberikan pengetahuan parsial tentang perilaku manusia. Hetherington, mantan Presiden British Psychological Society bahkan menyatakan bahwa Psikologi sebagian merupakan bagian dari natural science dan sebagian merupakan bagian dari interpretive science. Jadi beralasan bahwa kita perlu mengembangkan metode-metode yang secara mumpuni mempelajari manusia sebagai organisme, sebagai anggota organisasi-organisasi sosial, dan sebagai orang yang berdialog. Dalam konteks ini, analisis wacana, dan sebagainya yang bertumpu kepada penafsiran itu dapat memainkan peran. Metode-metode yang bertumpu kepada penafsiran atau hermeneutik bukanlah metode yang melepaskan diri (detached) dari pengamatan objektif, namun lebih merupakan dialog di mana sang penafsir membawa “cakrawala/horizon”-nya, latar belakang kulturalnya, opininya, norma subjektifnya, prasangka-prasangkanya dan mengkonfrontasikannya dengan teks. Interpretasi atau penafsiran pada kenyataannya hanya mungkin bila mulai dari sini.  Dikotomisasi kaku antara penjelasan nomologis (hukum-hukum sebab akibat) dan pandangan hermeneutik tidak memadai. Pemahaman dan eksplanasi merupakan suatu kontinum. Sebagai contoh, kita harus memahami terlebih dahulu dari dalam (from the inside), apa maknanya frustrasi, dan apa yang diperhitungkan sebagai perilaku agresif dalam sebuah kebudayaan, sebelum kita dapat mulai melakukan pengukuran dan mencari hukum-hukum umum. Jadi eksplanasi psikologi terletak pada sebuah kontinum dari penafsiran hermeneutik sampai dengan nomologis.

Psikologi: Ilmu Alam atau Ilmu Sosial?
Menurut Praetorius (2003), konstruksionisme gagal melihat bahwa kita mungkin memiliki pengetahuan objektif; bahwa kita dapat mengemukakan deskripsi yang benar tanpa pada saat yang sama meragukan atau mempertanyakan (a) eksistensi objektif kita sendiri, serta (b) kebenaran kognisi dan deskripsi kita mengenai diri kita sendiri. Salah satu turunan dari konstruksionisme adalah Psikologi Hermeneutik (Martin & Sugarman, 2001), juga Psikologi Diskursif yang menurut Mather (2000) menjadi fondasi Psikologi Kritis.
Di pihak lain, asumsi dasar naturalisme adalah bahwa segala sesuatu yang eksis memiliki penjelasan fisis. Fenomena mental termasuk dalam gejala yang memiliki kausalitas (sebab dan akibat) yang dapat dijelaskan secara eksplanatori oleh fisika—metodologi pemerolehan pengetahuannya adalah eksperimental. Sebagai contoh, rasa sakit atau keyakinan tentang realitas memiliki sebab-sebab fisis (misalnya, kondisi fisik dan kerja otak) serta efek-efek fisis (misalnya tindakan yang menghasilkan akibat fisik). Dengan demikian, fenomena mental merupakan fenomena fisik dan dapat dijelaskan dengan terminologi fisika. Keyakinan, pikiran, serta fenomena mental lainnya tidak memiliki eksistensi objektif, kecuali tersusun atas dan dapat direduksi pada materi fisik. Naturalisme mengabaikan dependensi atau kebergantungan deskripsi saintifik tentang fenomena fisik pada deskripsi non-saintifik (Praetorius, 2003). Padahal, titik berangkat setiap penelitian ilmiah harus merupakan deskripsi sehari-hari yang biasa (ordinary) dalam dunia yang kita akrabi. Pun pula, setiap deskripsi dan penjelasan ilmiah tentang fenomena partikular bergantung pada dan secara logis berelasi dengan deskripsi lain (baik non-saintifik maupun saintifik).

Psikologi: Apakah Memiliki Satu Paradigma?
Glassman dan Hadad (2009) mengemukakan adanya lima pendekatan (approaches) dan tiga perspektif dalam psikologi, yakni : 
1. Pendekatan Biologis
2. Pendekatan Behavioris
3. Pendekatan Kognitif
4. Pendekatan Psikodinamik/Psikoanalitik
5. Pendekatan Humanistik
6. Perspektif Perkembangan
7. Perspektif Perilaku Sosial
8. Perspektif Perilaku Abnormal. 
Tiap-tiap pendekatan memiliki asumsi ontologis dan epistemologisnya sendiri, juga memiliki jurnal-jurnal ilmiah yang kebanyakan di antaranya tidak saling “bertegur sapa”, kecuali pendekatan kognitif dan neurosains.

Sumber :
  • Penulis adalah bapak Juneman, Dosen Tetap pada Jurusan Psikologi, Fakultas Humaniora, Universitas Bina Nusantara.
  • Artikel ini dimuat sebagai salah satu chapter dari buku Menggugat Fragmentasi dan Rigiditas Pohon Ilmu, halaman 43-68, ISBN 978-979-8154-47-8, yang diterbitkan oleh Satya Wacana University Press, tahun 2013.










Pengantar Sosiologi


Sosiologi berasal dari kata : Socious dan Logos
Socious  : berteman, berkawan
Logos/logia  : Ilmu
Sosiologi : Ilmu tentang berteman/bermasyarakat.

Apa dari masyarakat itu yang dibahas dalam sosiologi?
Kodrat manusia :
-          Ingin bergaul, berteman
-          Ingin memenuhi kebutuhan hidup
-          Ingin bertahan hidup
-          Ingin dihormati/menghormati
-          Ingin dicintai/mencintai
-          Ingin melindungi/melindungi

Kunci dari semua itu apa?
Kuncinya adalah interaktsi/hubungan obyek sosial.
Tanpa ada interaksi tak ada masyarakat.
Ada 3 macam hubungan :
-          Hubungan primer
-          Hubungan sekunder
-          Hubungan tersier
Hubungan/Interaksi bisa :
-          Antar individu
-          Antar kelompok
-          Individu dengan kelompok
Sosiologi mempelajari jaringan interaksi dalam masyarakat.
Jaringan meliputi :
-          Proses sosial, stratifikasi sosial.
-          Struktur sosial, lembaga-lembaga sosial, organisasi sosial.
-          Perubahan sosial, mobilitas sosial dengan segala konsekuensinya.

Mengapa belajar sosiologi?
Manusia terdiri dari 3 aspek pokok:
Manusia sebagai makhluk biologis.
-          Manusia sebagai makhluk budaya
-          Manusia sebagai makhluk sosial
Dari ketiga aspek diatas muncul teori :
-          Individualisme
-          Kolektivisme
Individualisme bersifat :
-          Individual, bertanggung jawab pada diri sendiri
-          Sifat sosial adalah faktor sekunder
-          Utamakan kepentingan dan kebebasan pribadi
-          Mempunyai hak mutlak yang harus dipenuhi masyarakat
-          Hak individu tak boleh dikorbankan untuk kepentingan masyarakat

DEFINISI SOSIOLOGI:
1. William G. Sumner
    Ilmu tentang gejala-gejala sosial.
2. George Simmel
    Mempelajari tentang hubungan antar manusia.
3. Emile Durkheim
    Mempelajari tentang lembaga-lembaga sosial (the science of institutions)
4. M. Kovalevsky
   Ilmu tentang organisasi dan perubahan sosial (the science of organization and social change)
5. Max Weber
   Ilmu tentang tindakan-tindakan sosial (sosial actions)
    Tindakan Sosial :
    Tindakan individu/kelompok yang berpengaruh pada tindakan dan sikap orang/kelompok lain.
6. Albion W. Small
    Ilmu yang mempelajari tentang proses-proses sosial (social Processes)
7. Robert E. Park
    Ilmu tentang perilaku kolektif (collective  behaviour)
8. Astrid S. Susanto
    Ilmu yang meneliti dan menjelaskan tindakan-tindakan sosial 
manusia (tindakan keluar)

    Kesimpulan :
   Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antar manusia baik ia sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok

Materi Penelitian Sosiologi :
    Realitas tentang kehidupan manusia sebagaimana adanya, hidup dan kehidupannya, perkembangan serta keruntuhannya.
Tujuan Sosiologi :
    Meningkatkan daya kreatifitas manusia dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan dan mengembangkan pengetahuan yang obyektif tentang gejala kemasyarakatan yang dapat digunakan dengan efektif terhadap problema sosial.

Sifat-Sifat Sosiologi
1. Empirik    : Berdasarkan pada observasi dan akal, bukan supranatura.
2. Teoritis    : Sosiologi hanya membuat summary saja dari
                     hasil observasi sehingga  bersifat abstrak.
3. Kumulatif : Teori-teori yang ada berdasar pada teori-teori  
                     terdahulu, yang sifatnya adalah perbaikan,
                     sehingga teori yang baru lebih lengkap, luas
                     dan sempurna.
4. Non etik  : Sosiologi tidak membahas tentang sosial
                    etik, tidak memasalahkan baik/buruk
                    masyarakat. Tapi mengungkap dan menjelaskan
                    realitas-realitas sosial.

Madzab-Madzab Sosiologi
1. M. Geografi & Lingkungan
     Edward Buckle membuktikan bahwa ada hubungan erat
     antara tingkah laku manusia (penduduk) dengan
     lingkungan geografi (tempat tinggal).
     Artinya :  ada korelasi antara faktor alam dengan 
                      struktur serta organisasi sosial (karakteristik 
                      sosial masyarakat).
2. M. Organis Evolusioner
    Herbert Spencer menyatakan :
    Suatu organisma akan bertambah sempurna dengan
     adanya diferensiasi. Ini terjadi karena proses evolusi.
3. M. Formal
   George Simmel berpendapat bahwa elemen-elemen masyarakat mencapai kesatuan melalui bentuk yang mengatur hubungan antar manusia.
    contoh :
    Manusia hidup bermasyarakat diatur oleh folkways/lembaga-lembaga sosial.
    Dengan demikian masyarakat akan teratur, meski sebenarnya bentuk (lembaga) itu.
 4. M. Psikologi
   Gabriel Tarde berpendapat :
    Gejala sosial mempunyai sifat psikologis yang terdiri dari   interaksi antar jiwa-jiwa individu, dimana jiwa tersebut mengandung unsur kepercayaan dan keinginan-keinginan.
    Bentuk utama interaksi sosial adalah :
     - Imitasi = peniruan
     - Oposisi = menentang
     - Adaptasi = penyesuaian
    Dalam masyarakat, Imitasi berhadapan dengan oposisi ini bisa menuju  pada bentuk adaptasi atau non adaptive (konflik)
    Misal : Invention / penemuan baru yang membuat manusia itu sendiri.
5. M. Hukum
     Emile Durkheim berpendapat bahwa hukum adalah kaidah-kaidah yang bersanksi. Berat/ringan sanksi tergantung pada :
     - Sifat pelanggaran
     - Anggapan-anggapan serta keyakinan masyarakat
        terhadap baik buruknya suatu tindakan